Masalah perikana tangkap yang melanggar hukum atau lebih dikenal dengan istilah Illegal Fishing sebenarnya sudah menjadi masalah klasik. Mengapa dikatakan klasik? karena masalah ini telah ada dari zaman dulu yang seakan-akan tidak ada habisnya. Hingga sekarang pun Illegal Fishing masih sulit untuk di berantas. Berita penangkapan kapal asing oleh patroli kita, akhir-akhir ini sering terdengar. Akan tetapi tetap masih saja ada kapal-kapal asing yang masuk wilayah RI. Atau berita pengeboman ikan atau berita nelayan kita yang menggunakan Alat Penangkapan Ikan terlarang.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, peran pemerintah dalam menjaga perairan di wilayah perbatasan sangat terbatas, bahkan dapat dikatakan minim baik dalam hal trasportasi seperti kapal-kapal patroli maupun dalam hal jumlah ankatan laut maritim yang siaga berpatroli. Bayangkan saja jika kapal patroli kita, ataupun kapal penangkap ikan kita yang umumnya berukuran kecil dan tradisional, harus berhadapan dengan kapal asing yang berukuran lebih besar dan modern serta dalam jumlah yang lebih banyak.
Masalah illegal fishing adalah masalah kita bersama. Masalah tersebut tidak akan dapat teratasi jika kita tidak berbenah diri. Salah satu cara untuk mengatasinya yaitu mungkin dengan menambah armada kapal patroli kita, supaya kapal-kapal asing yang masuk ke wilayah perairan kita yang melakukan illegal fishing bisa ditangkap ataupun bisa dihancurkan kapal mereka.
Mengapa harus demikian? Karena masalah illegal fishing menimbulkan kerugian yang amat sangat besar bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Berapa Triliunkah uang kita dicuri oleh Negara lain? Berapa banyak sumberdaya alam kita dihancurkan dan dicuri oleh Negara lain?
Sebagai negara maritim, Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya kelautan yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum diketahui potensi yang sebenarnya untuk itu perlu data yang lengkap, akurat sehingga laut sebagai sumber daya alternatif yang dapat diperhitungkan pada masa mendatang akan semakin berkembang. Dengan luas wilayah maritim Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan dengan kekayaan terkandung di dalamnya yang meliputi :
- Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies fauna dan 110.000 spesies mikroba,
- 600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera,
- Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya,
- Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya,
- Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion,
- Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan penampung limbah,
- Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas laut berpangkal.
- Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu : dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG.
Sejumlah potensi tersebut di atas merupakan sumberdaya yang sangat potensial dikelola, untuk kesejahteraan rakyat. Di era krisis ekonomi yang masih belum dapat diatasi sepenuhnya hingga saat ini, seharusnya potensi laut yang besar tersebut menjadi solusi. Namun karena selama ini kita telalu fokus kepada sumberdaya yang ada di darat, maka sumberdaya laut yang besar menjadi tersia-siakan. Keadaan inilah yang memberikan peluang kepada bangsa-bangsa lain untuk mengeksploitasi laut kita dengan leluasa yang salah satunya dengan illegal fishing.
Kendala KelautanDisadari bahwa penanganan bidang kelautan di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan, antara lain.
- Kehancuran sebagian terumbu karang yang memilili fungsi ekologi dan ekonomi yang hanya menyisakan sekitar 28%, rawa pantai dan hutan mangrove (bakau) yang merupakan habitat ikan dan penyekat abrasi laut, dari 4 (empat) jutaan hektar telah menyusut menjadi 2 (dua) jutaan hektar.
- Pencurian ikan oleh orang asing menunjukkan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun,
- Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan yang sangat minim baik di bidang perencanaan, pengelolaan, maupun hukum dan pengamanan kelautan,
- Sebagian besar (85%) kapal-kapal yang beroperasi di perairan Indonesia menggunakan modal asing dan selebihnya adalah modal nasional. Hal ini juga berdampak pada sekitar 50% pelayaran antar pulau dikuasai oleh pihak asing,
- Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana (kapal, peralatan) menyebabkan seringkali aparat keamanan laut (Kamla) kita tidak berdaya menghadapi kapal-kapal pencuri ikan, sehingga hanya sebagian kecil yang dapat ditangkap,
- Pemanfaatan teknologi maju melalui pengamatan satelit dalam rangka pengawasan dan pengamanan laut (Waspam) masih sangat terbatas dan belum terintegrasi secara permanen,
- Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan perairan telah menyebabkan pencemaran laut akibat pembuangan limbah dari proses kegiatan tersebut di atas, sehingga telah mendegradasi habitat pesisir dan laut,
- Maraknya kasus pembajakan laut khususnya di Selat Malaka dan alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) telah menimbulkan konflik yang mengundang intervensi negara maju (USA dan Jepang).
Penangkapan yang berlebihan |
Faktor-faktor lain yang berpengaruhi:
a. Lepasnya P. Sipadan dan P. Ligitan dari klaim wilayah kita ke tangan Malaysia memberikan pelajaran berharga guna mewaspadai pulau-pulau kecil yang ada di zona perbatasan dan memberikan kesadaranbagi kita semua tentang pentingnya pembinaan atas pulau-pulau tersebut,
b. Kondisi faktual, banyak WNI penduduk wilayah perbatasan lebih banyak berhubungan dengan warga negara tetangga/asing yang lebih maju, mereka menggunakan uang asing, menonton TV asing, mendengarkan radio asing dan menggunakan bahasa. asing (bahasa negara tetangga). Contoh, penduduk P. Sebatik (Indonesia-Malaysia), Kep. Sangir & Talaud dan P. Miangas (Indonesia-Filipina). Dengan demikian secara tidak sengaja penduduk perbatasan sudah terbina dan terkooptasi oleh pengaruh negara tetangga, sementara itu pembinaan dari pemerintah terhadap mereka sangat minim,
c. Adanya batas yang sangat panjang dan khususnya alur laut (ALKI) yang tidak dapat diawasi secara memadai karena keterbatasan aparat, sarana dan prasarana. Waspam laut banyak dimanfaatkan sebagai alur perlintasan kriminal seperti penyelundupan barang ilegal (illegal logging/ fishing/imigrants), pengungsi, trafficking dan akhir-akhir ini terorisme Internasional
d. Keadaan ekonomi negara dan rakyat (khususnya nelayan) yang masih sulit menyebabkan kepedulian dan kemampuan terhadap pengelolaan dan Waspam laut sangat rendah,
e. Adanya pertentangan internal dalam negeri, antar kelompok etnis, agama, ras dan. golongan (SARA) atau pemerintahan daerah (Pemda) memberikan celah-celah bagi elemen asing yang bertujuan negatif dengan mengintervensi dan mengeksploitasi permasalahan SARA tersebut.
- Batas Perairan Pedalaman (BPP). Perairan pedalaman di dalam garis batas yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di situ praktis sama dengan di wilayah darat, dimana NKRI mempunyai kedaulatan penuh, kapal-kapal asing tidak berhak lewat. Perairan pedalaman tersebut dibatasi oleh garis penutup (closing lines) sesuai ketentuan Hukla 1982. Namun sayang Indonesia hingga saat ini belum memanfaatkan haknya untuk menarik closing lines tersebut.
- Batas Perairan Nusantara/Kepulauan (BPN/BPK). Di perairan ini Indonesia mempunyai hak kedaulatan wilayah penuh tetapi kapal/pelayaran asing masih mempunyai “hak melintas” (innocent passage) melalui prinsip alur laut kepulauan. Perairan nusantara ini dikelilingi oleh garis-garis dasar yang lurus (base lines) yang menghubungkan titik-titik pangkal (base points) dan bagian terdepan pulau-pulau terdepan di seluruh Indonesia. Base lines yang menghubungkan base points dibuat berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1960 dan telah didepositkan di PBB. Undang-undang tersebut telah diperbaharui dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 namun isinya justru mencabut base points dan base lines yang telah ada.
- Batas Laut Wilayah (BLW). Batas laut ini ditarik dari base lines sejauh 12 mil, tetapi BLW yang pasti/tegas juga belum ada, karena BLW tidak dapat ditentukan sepihak. Pada laut wilayah, Indonesia masih mempunyai hak mengelola dan yurisdiksi kedaulatan wilayah penuh.
- Batas Perairan Zona Tambahan (BPZT). Garis BPZT ini ditarik 12 mil dari garis BLW. Karena BLW nya belum pasti, maka BPZT nya juga belum dibuat.
- Batas Zona Ekonomi Eksklusif (BZEE). Garis BZEE ditarik sejauh/selebar 200 mil dari base lines. Di perairan ZEE ini, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di situ dan kewenangan melindungi lingkungan, mengatur penelitian ilmiah maritim dan pemberian ijin kepada pihak asing yang akan melakukan penelitian ilmiah dan atau mendirikan bangunan (instalasi, pulau buatan). BZEE juga belum memiliki keabsahan/pengakuan yang pasti.
Batas Landas Kontinen (BLK). Landas Kontinen adalah ujung kaki benua atau lanjutan daratan yang tenggelam, garis BLK ditarik dari landas kontinen secara verfikal (di permukaan laut) sampai 200 mil dari base lines atau maksimal 350 mil dari base lines.
Pengertian Perikanan Ilegal Perikanan ilegal saat ini telah menjadi perhatian dunia, termasuk FAO (Food and Agriculture Organization). Lembaga ini menggunakan beberapa terminologi seperti perikanan illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) atau biasa disingkat dengan IUU fishing. Penjelasan mengenai ketiga terminologi ini adalah sebagai berikut:
Kapal asing yang memasuki perairan Indonesia |
- Penggunaan alat tangkap yang merusak seperti trawl, bom, dan bius.
- Pelanggaran wilayah tangkap.
- Kesalahan dalam pelaporannya (misreported).
- Pelaporan yang tidak semestinya (under reported).
Situasi Perikanan Nasional
Publikasi FAO tahun 2007 menggambarkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited. Artinya bahwa di kedua perairan tersebut, sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran saat ini.
1. Produksi Perikanan Nasional
Pertumbuhan produksi rata-rata perikanan tangkap dalam periode tahun 1994-2004 mencapai 3,84 persen per tahun. Sedangkan produksi perikanan tangkap pada tahun 2004 mencapai 4.311.564 ton. Apabila pemerintah menargetkan pertumbuhan produksi perikanan tangkap tetap sebesar 3,84 persen per tahun,
maka produksi perikanan tangkap nasional tahun 2009 akan mengalami full exploitation diseluruh perairan Indonesia.
2. Konsumsi Ikan Nasional
Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia setiap tahunnya terlihat mengalami peningkatan. Secara nasional tingkat konsumsi ikan nasional pada tahun 2002 baru mencapai sekitar 21 kg/kapita/tahun. Namun demikian tingkat konsumsi ikan nasional tersebut terlihat masih di atas rata-rata tingkat konsumsi ikan dunia yang baru mencapai sekitar 16 kg/kapita/tahun. Sementara itu jika dilihat dari perkembangan tingkat konsumsi ikan nasional berdasarkan jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat, terlihat bahwa sekitar 65,98 persen dari total konsumsi ikan nasional tahun 2002 didominasi oleh 18 jenis ikan. Yaitu ekor kuning, tuna, tenggiri, selar, kembung, teri, banding, gabus, kakap, mujair, mas, lele, baronang, udang segar, cumi-cumi segar, kepiting, kalong dan udang olahan.
Dari 18 jenis ikan yang dominan tersebut terlihat bahwa ikan tuna, selar dan kembung merupakan jenis ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Data Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukan, bahwa rata-rata tingkat konsumsi untuk ketiga jenis ikan tersebut pada periode 1996-2002 adalah mencapai 3,08 kg/kapita/tahun (Ikan Tuna). Atau sekitar 14,65 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002, 2,48 kg/kapita/tahun (Ikan Kembung). Sekitar 11,81 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002 dan 1,05 kg/kapita/tahun (Ikan Selar) atau sekitar 4,98 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002.
Kondisi terkini, gerakan gemar makan ikan yang di kampanyekan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah berkontribusi dalam meningkatkan angka konsumsi perikanan perkapita, dari sekitar 17 kg/kapita/
tahun di tahun 1998, menjadi sekitar 26 kg/kapita/tahun dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir. Tentu saja, meningkatnya konsumsi perkapita akan berkorelasi positif dengan pertumbuhan volume kebutuhan ikan domestik, sejalan dengan pertumbuhan penduduk rata-rata nasional yang berkisar 1,34 persen per tahun-nya (Damanik, 2007b)
Praktek Perikanan Ilegal
Sampai saat ini, belum ada perhitungan pasti jumlah ikan yang terangkut dari perairan Indonesia secara illegal setiap tahunnya. FAO (2001) memperkirakan kerugian Indonesia dari perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US$ 4 milyar. Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Freddy Numbery, mengakui bahwa akibat aktivitas perikanan ilegal, negara dirugikan Rp 30 triliyun setiap tahunnya. Perkembangan harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara US$ 1.000 sampai US$ 2.000 per ton ikan. Dengan asumsi harga ikan rata-rata sebesar US$
1.000 per ton, diperkirakan jumlah ikan yang dicuri mencapai sekitar 4 juta ton per tahun. Sementara itu apabila harga ikan rata-rata diasumsikan sekitar US$
2.000 per ton maka jumlah ikan yang dicuri tersebut mencapai kisaran 2 juta ton per tahun. Terlebih lagi, apabila diasumsikan rata-rata tonase kapal ilegal yang
menangkap ikan di perairan Indonesia mencapai 200 ton dan setiap tahunnya melakukan 4 kali trip penangkapan, maka jumlah kapal ilegal mencapai sekitar 2.500 sampai dengan 5.000 kapal per tahun. Hingga kini pemberantasan praktek perikanan illegal belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan, bahkan semakin memprihatinkan. Salah satu buktinya, Maret 2006 lalu hasil verifikasi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP menunjukkan 94 persen tanda peralihan kepemilikan kapal (deletion certificate) yang berhasil diklarifikasi adalah palsu. Lebih buruk lagi, pada semester pertama 2007 (Januari – Juni), puluhan kapal dari berbagai negara telah ditemukan kembali melakukan praktek pencurian ikan di perairan Indonesia. Praktek perikanan ilegal di Indonesia yang diungkap oleh media massa antara tahun 2002 hingga 2007, menunjukkan semakin beragam dan semakin luas wilayah Indonesia yang “disantroni” oleh kegiatan perikanan ilegal.
Perikanan ilegal tersebut mencakup pencurian ikan, yaitu kapal asing menangkap ikan di Indonesia dan tidak memiliki izin atau tidak memiliki dokumen keimigrasian perikanan yang tidak diatur, karena melanggar peraturan
perundangan yang telah ditetapkan seperti menggunakan alat tangkap trawl, bom, atau memasuki wilayah tangkap yang tidak sesuai dengan izin yang telah diberikan; serta perikanan yang tidak dilaporkan, karena memuat dan memindahkan ikan di tengah laut atau menjual ikan dijual ke negara lain, atau kegiatan lain yang menyebabkan tangkapan ikan tersebut tidak dilaporkan.
Jumlah kegiatan perikanan ilegal begitu fantastis. Pada tahun 2003, DKP menduga terdapat sekitar 5.000 kapal asing yang tidak memiliki izin beroperasi di perairan Indonesia, yang kemudian berhasil ditertibkan hingga 4.000 kapal asing melalui perizinan (Media Indonesia, 31 Desember 2003). Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan perikanan ilegal terus terjadi dari
tahun ke tahun.
Kapal asing yang melakukan kegiatan perikanan ilegal biasanya melangsungkan operasinya di wilayah perbatasan dan perairan internasional, antara lain:
1. Perairan Timur Indonesia, seperti:
a) Perairan Papua (Sorong, Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana, Merauke, Perairan Arafuru)
b) Laut Maluku, Laut Halmahera
c) Perairan Tual
d) Laut Sulawesi
e) Samudra Pasifik
f) Perairan Indonesia-Australia
g) Perairan Kalimantan Timur
2. Perairan Barat Indonesia, seperti:
a) Perairan Kalimantan bagian Utara, daerah Laut Cina Selatan
b) Perairan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
c) Selat Malaka
d) Sumatera Utara (Perairan Pandan, Teluk Sibolga)
e Selat Karimata, Perairan Pulau Tambelan (Perairan antara Riau dan Kalimantan Barat)
f) Laut Natuna (Perairan Laut Tiongkok Selatan)
g) Perairan Pulau Gosong Niger (Kalimantan Barat)
Dampak Perikanan Ilegal
Maraknya perikanan ilegal di perairan Indonesia berdampak terhadap stok ikan nasional dan global. Hal ini juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia.
Sedikitnya terdapat sepuluh masalah pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah memberi dampak serius bagi Indonesia. Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah (misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional dan global. Hal ini dapat dikategorikan melakukan praktek IUU fishing. Dengan kata lain, jika pemerintah Indonesia tidak serius untuk mengantisipasi dan mereduksi kegiatan IUU diperairan Indonesia, maka dengan sendirinya Indonesia “terkesan” memfasilitasi kegiatan IUU, dan terbuka kemungkinan untuk mendapat sanksi internasional.
Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB). Disamping juga mendorong hilangnya rente sumberdaya perikanan yang seharusnya dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan ilegal berkisar antara US$ 1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 2-4 juta ton ikan. Perhitungan lain menyebutkan, bahwa total kerugian negara akibat perikanan ilegal mencapai US$ 1,924 miliar per tahun. Angka ini terdiri dari pelanggaran daerah operasi sebesar US$ 537,75 juta; dokumen palsu US$ 142,5 juta kapal tanpa dokumen atau liar US$ 1,2 juta dan penggunaan ABK asing US$ 780 juta.
Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan.
Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang pandu pelabuhan. Karena kapal penangkapan ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor perikanan.
Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.
Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan ilegal memilikib hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Apabila potensi ikan yang dicuri dapat dijala oleh armada perikanan nasional, maka sedikitnya dapat menjamin bahan baku yang cukup bagi industri pengolahan hasil perikanan, misalnya pengalengan tuna. Pada umumnya ikan yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis besar lainnya. Jika setiap industri pengalengan ikan tuna memerlukan bahan baku minimal 80-100 ton per hari atau sekitar 28.000-36.000 ton per tahun, maka ikan yang dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi 42 industri pengalengan ikan tuna nasional.
Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya nilai dari kawasan pantai, misalnya udang yang dekat ke wilayah penangkapan ikan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusak oleh perikanan ilegal. Selanjutnya akan berdampak pada pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pantai.
Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.
Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, yang merupakan sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan.
Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitasb penangkapan ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan.