Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

KARTA JAYA | 3/17/2012 | 0 komentar |
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang berasal dari sungai nila dan danau-danau yang menghubungkan sungai tersebut. Ikan nila didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969, bibit ikan nila yang ada di Indonesia berasal dari Taiwan adapun dengan ciri berwarna gelap dengan garis-garis vertikal seanyak 6-8 buah dan Filipina yang berwarna merah (Suyanto 1998).
Menurut Saanin (1982), klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah sebagai berikut:
Kingdom     : Animalia
Filum           : Chordata
Sub Filum    : Vertebrata
Kelas           : Osteichtes
Sub Kelas    : Acanthoptherigii
Ordo            : Percomorphii
Sub Ordo     : Percoidae
Famili           : Cichlidae
Genus          : Oreochromis
Spesies        : Oreochromis niloticus

Ikan nila pada umumnya mempunyai bentuk tubuh panjang dan ramping, perbandingan antara panjang dan tinggi badan rata-rata 3 : 1. Sisik-sisik ikan nila berukuran besar dan kasar. Ikan nila berjari sirip keras, sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Selain itu, tanda lainnya yang dapat dilihat adalah dari ikan nila adalah warna tubuhnya yang hitam dan agak keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna putih, sedangkan pada nila lokal putih agak kehitaman bahkan ada yang kuning. Sisik ikan nila besar, kasar, dan tersusun rapi. Sepertiga sisik belakang menutupi sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateralis yang terputus antara bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis bagian atas memanjang mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung sampai pangkal sirip ekor. Ukuran kepalanya relatif kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai mata yang besar (Merantica 2007).

Ikan nila memiliki karakteristik sebagai ikan parental care yang merawat anaknya dengan menggunakan mulut (mouth breeder) (Effendie 1997 dalam Prasetiyo 2009). Ikan ini dicirikan dengan garis vertikal yang berwarna gelap pada sirip ekornya sebanyak 6 buah. Selain pada sirip ekor, garis tersebut juga terdapat pada sirip punggung dan sirip anal (Suyanto 1994 dalam Saputra 2007 dalam Prasetiyo 2009).
Seperti halnya ikan nila yang lain, jenis kelamin ikan nila yang masih kecil, belum tampak dengan jelas. Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4-5 bulan (100-150 g) sudah mulai kawin dan bertelur Tanda-tanda ikan nila jantan adalah warna badan lebih gelap dari ikan betina, alat kelamin berupa tonjolan (papila) di belakang lubang anus, dan tulang rahang melebar ke belakang. Sedangkan tanda-tanda ikan nila betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat 2 lubang. Lubang yang di depan untuk mengeluarkan telur, sedang yang di belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung telur yang masak,dan perutnya tampak membesar (Suyanto, 2003).

Ikan nila merupakan ikan omnivora yang memakan fitoplankton, perifiton, tanaman air, avertebrata kecil, fauna bentik, detritus, dan bakteri yang berasosiasi dengan detritus. Ikan nila dapat menyaring makanannya dengan menangkap partikel tersuspensi, termasuk fitoplankton dan bakteri, pada mukus yang terletak pada rongga buccal. Tetapi sumber nutrisi utama ikan nila diperoleh dengan cara memakan makanan pada lapisan perifiton (FAO 2006).

Ikan nila merupakan ikan tropis yang menyukai perairan yang dangkal. Ikan nila dikenal sebagai ikan yang tahan terhadap perubahan lingkungan tempat hidupnya. Nila hidup di lingkungan air tawar, air payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0-35 ppt. Ikan nila air tawar dapat dipindahkan ke air asin dengan proses adaptasi bertahap. Kadar garam air dinaikkan sedikit demi sedikit. Pemindahan ikan nila secara mendadak ke dalam air yang kadar garamnya sangat berbeda dapat mengakibatkan stress dan kematian ikan (Suyanto, 2004).

Tempat hidup Ikan nila biasanya berada pada perairan yang dangkal dengan arus yang tidak begitu deras, ikan ini tidak suka hidup di perairan yang bergerak (mengalir),akan tetapi jika dilakukan perlakuan terhadap ikan nila seperti pengadaptasian terhadap lingkungan air yang mengalir maka ikan nila juga bisa hidup baik pada perairan yang mengalir. (Djarijah, 2002).

Lingkungan tumbuh (habitat) yang paling ideal adalah perairan air tawar yang memiliki suhu antara 14oC – 38 oC, atau suhu optimal 25oC – 30oC. Keadaan suhu yang rendah yaitu suhu kurang dari 140C ataupun suhu yang terlalu tinggi di atas 300C akan menghambat pertumbuhan nila. Ikan nila memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Batas bawah dan batas atas suhu yang mematikan ikan nila berturut-turut adalah 11-12oC dan 42oC. Keadaan pH air antara 5 – 11 dapat ditoleransi oleh ikan nila, tetapi pH yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan ikan ini adalah 7- 8. Ikan nila masih dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada salinitas 0-35 ppt. Oleh karena itu, ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan usaha pembesaran (Rukmana, 1997).

Alat-Alat Pengamatan Tingkah Laku Ikan

KARTA JAYA | 3/17/2012 | 0 komentar |
Dalam dunia perikanan sangat penting untuk mengetahui tingkah laku ikan terhadap respon yang diberikan kepada ikan. Respon ikan inilah yang menjadi pokok permasalahan para ilmuan sehingga menciptakan alat-alat yang berfungsi untuk mengamati tingkah laku ikan terhadap aksi yang kita berikan kepada ikan. Usaha untuk mempelajari tingkah laku ikan ikan ini sangat erat hubungannya dengan mempelajari pengembangan alat penangkapan ikan. Untuk mengetahui alat-alat apa saja yang digunakan untuk mengetahui atau mengamati tingkah laku ikan dapat sobat lihat di bawah ini.

1. Batistat
Peralatan ini digunakan untuk melihat tingkah laku ikan hingga laut dalam.Umumnya berbentuk silinder atau bola berongga dan terbuat dari bahan logam yang kuat. Alat ini dimasukkan ke dalam air; pasif ataupun ditarik oleh kapal. Dilengkapi dengan system penerangan dan penutup yang kedap air, system komunikasi untuk tetap menjaga agar tetap ada hubungan antara peneliti yang ada di dalam batistat dengan mereka yang ada di kapal.

2. Batiskap
Peralatan (free diving) dapat bergerak sendiri yang dihubungkan dengan kapal melalui tali baja yang kuat, mempunyai perlengkapan electromotor
yang memungkinkan bekerjanya propeller, sehingga mampu bergerak sendiri dengan kecepatan beberapa knot.Batiskap dapat bergerak ke permukaan maupun jauh ke dalam laut sejauh panjangnya tali baja penghubung dengan kapal. Dengan alat ini PICCARD melakukan penelitian untuk melihat tingkah laku ikan hingga pada kedalaman 11.000 meter di bawah laut.

3. Kapal Selam
Pengamatan langsung yang sangat modern dewasa ini adalah dengan menggunakan kapal selam.Salah satu kapal selam yang telah digunakan untuk mengungkapkan tingkap laku ikan herring di samudera Atlantik Utara adalah kapal selam “Severyanha” yang dimodifikasi untuk penelitian ilmiah.


4. Televisi, Film dan Pemotretan Bawah Air
Dengan peralatan ini, peneliti dapat melakukan pengamatan yang lebih teliti denganmelihat berulang kali hali rekamannya baik untuk pengamatan komposisi kelompok ikan,aktifitas, serta tingkah laku lainnya yang diperlukan dalam mendetrminasi, ukuran,komposisi, tingkat kepadatan dan sebagainya yang diamati saat ditayangkan
5. Fish Finder
Kebiasaan atau tingkah laku ikan dalam pengelompokan dapat diketahui. laku ini dalam hubungannya dengan faktor lingkungan atau stimulus yangdiberikan dan menjadi dasar dalam pengoperasian peralatan tangkap (Misalnya dari hasil deteksi di ketahui adanya kelompok ikan pada kedalaman tertentu, maka keputusan pengoperasian jenis alat tangkap dan kedalamannya dapat diambil untuk mengoptimalkan hasil tangkapan).

6. Water Tonic (Aquarium)
Aquarium merupakanperalatan yang digunakan dalam pengamatan tingkahlaku ikan tempat ikan diamati.Alat ini bisanya terbuat dari bahan kaca yang disisi air.

7. Mini Flume Tank
Alat ini merupakan flume tank dalam betuk kecil yang fungsinya untuk pengamatan performance ikan, mengetahui cara renang ikan, gaya renang ikan, cara makan ikan dan lain sebaginya. Alat ini terbuat dari kaca yang dimodifikasi dengan alat-alat tertentu seperti penambahan cahaya lampu dan pegatur arus.

8. ROV (Remote Operated Underwater Vehicle)
Alat ini digunakan dalam mengamati tingkah laku ikan pada dasar laut dangkal, karena dilengkapi dengan video kamera bawah air, mengamati penempatan pipa bawah air yang diletakkan di rancang untuk memantau kondisi bawah air, khususnya dalam penempatan objek bawah air, misalnya rumah ikan (fish shelter) atau rumpon bawah air.


9. Underwater TV Kamera
Alat ini dirancang khusus untuk memotret apa yang terjadi dalam perairan ketika pengamatan. Terdiri dari kabel kedap air, rumah kedap air, lampu infra red.

10. Mesin Embedding (Histocembedder)
Mesin ini digunakan dalam proses embedding. Mesin ini terdiri atas bagian-bagian antara lain cashbath, paraffin tank, cold plate, hot plate, dan vacuum oven. Alat ini dioprasikan dengan cara mengatur istrumen yang ada sesuai dengan fungsi dari masing-masing bagian. Prinsip kerjanya secara elektrik.

Sumber: Kuliah MOBA, Mayor PSP IPB

Cara Crack Surfer 9.0 Full Crack

KARTA JAYA | 3/17/2012 | 0 komentar |
Setelah saya melakukan postingan mengenai Software Surfer 9.0 Full Crack, beberapa menit yang lalu, saat ini saya akan memberikan cara untuk melakukan crack program tersebut setelah di instal ke PC/Laptop. Bagi sobat LautanBiru.com yang sudah melakukan instalasi program ini, pasti dalam prosesnya program ini akan berfungsi jika crackan program ini telah berjalan. Nah untuk melakukan crackan progrma ini, silahkan ikuti langkah berikut ini: (Crackan ini berlaku untuk Software Surfer 9.0 Full Crack)
  • Gunakan Serial Number ini ketika installasi : WS-123456-0000 atau WS-123456-1234 (Hanya berfungsi selama 3 bulan)
  • Tiga (3) Bulan Kemudian, Surfer 9 akan menanyakan Lisensi atau Serial Number Lagi.
  • Cara mengatasinya adalah dengan mengotak atik registry dan  rubahlah registry berikut :
[HKEY_LOCAL_MACHINESOFTWAREGolden SoftwareSurfer9]<ol style="text-align: left;">
  • Akan anda temukan 2 buah key DWord dan String Value seperti berikut :
“Imported”=dword:00000001
“ImportGUID”=”{97EA5A97-323D-1161-5C52-414151425577}”
  • Key yang berwarna Merah bisa saja berbeda dengan registry anda. Ini sebagai contoh saja.
  • Hapus Key String yang bertuliskan “ImportGUID” dengan tulisan huruf “ab” berwarna merah dengan cara mengklik kanan Key tersebut kemudian Delete.
  • Kemudian anda bisa register ulang software Surfer 9.0 anda kembali dengan serial number : WS-123456-0000 atau WS-123456-1234
  • Lakukan langkah ini sebelum Masa Register 3 bulan software Surfer 9.0 habis.
Sobat juga bisa mencoba beberapa serial number berikut :
WS-155342-1629 WS-162355-1230
WS-185497-1528 WS-160185-1342
WS-177422-1567 WS-164887-1702
WS-161554-1142 WS-183876-1280
WS-168737-1142 WS-178301-1031
WS-155157-1661 WS-163590-1982
WS-158827-1093 WS-184048-1576
WS-166587-1542 WS-157025-1829
Sobat juga bisa mencoba Software Surfer versi terbaru disini dengan mengisi formulir isiannya terlebih dahulu.
Selamat Mencoba… !!

SoftWare Surfer 9.0 Full Crack

KARTA JAYA | 3/17/2012 | 0 komentar |
Surfer 9 merupakan salah satu perangkat lunak produk Golden Software, Inc. untuk pembuatan peta kontur dan pemodelan tiga dimensi yang didasarkan atas grid. Perangkat lunak ini berperan besar dalam pemetaan kawasan. Meskipun canggih, perangkat ini tidak banyak menuntut untuk sistem operasi maupun perangkat keras.
Berikut hasil (output) program Surfer 9:
Kontur tiga dimensi
Untuk Stik Plot Arus
Perangkat Lunak atau Software Surfer 9.0 Full Crack ini memiliki banyak fungsi visualisasi, 3D contouring dan paket modeling permukaan yang berjalan di bawah Microsoft Windows. Surfer digunakan secara luas untuk pemodelan medan, visualisasi landscape, analisis permukaan, pemetaan kontur, pemetaan permukaan 3D, gridding, volumetrics, dan banyak lagi. Sebuah Software yang canggih interpolasi sebuah permodelan yang mengubah data XYZ Anda ke publikasi-peta berkualitas. Surfer menyediakan metode yang lebih gridding dan kontrol yang lebih luas terutama parameter gridding, termasuk variograms yang bisa disesuaikan, support database dari paket perangkat lunak lain di pasar. Anda juga dapat menggunakan kotak file yang diperoleh dari yang lain, seperti file USGS DEM atau file jaringan ESRI. Menampilkan grid Anda sebagai peta kontur yang luar biasa, peta 3D, wireframe 3D, vektor, gambar, relief berbayang, dan peta pos. Tambahkan peta dasar dan gabungkan beberapa jenis peta untuk menciptakan tampilan yang se-informatif mungkin. Hampir semua aspek dari peta Anda dapat disesuaikan untuk menghasilkan persis presentasi yang Anda inginkan. Peta publikasi menghasilkan kualitas lebih cepat atau lebih mudah.
Beberapa Fasilitas yang sobat bisa gunakan antara lain :
-Contour Maps
-3D Surface Maps
-Image Maps
-Shaded Relief Maps
-Post Maps
-3D Wireframe Maps
-Vector Maps
-Base Maps
-Map Layers
-Stacking Maps
-Map Projections
-Customize Your Map
-Superior Gridding
-Variograms
-Faults and Breaklines
-Grid Functions
Jika teman-teman ingin menginstal pada komputer/Laptop sobat, silahkan download Softwarenya di sini:

download[4] 
Atau
 download[4] 

Untuk cara Crack Softwarenya silahkan baca di sini.

ABALONE dan BINTANG ULAR (Ophiuroidea)

KARTA JAYA | 3/16/2012 | 0 komentar |
Abalon
Abalon (berasal dari bahasa Spanyol, Abulón) ialah suatu spesies kerang-kerangan (moluska) dari familia Haliotidae dan genus Haliotis. Ia dikenal pula sebagai kerang mata tujuh atau siput balik batu, ormer di Jersey dan Guernsey, perlemoen di Afrika Selatan, dan pāua di Selandia Baru.
Abalon tergolong dalam kelas Gastropoda yang besar. Terdapat hanya satu genus dalam famili Haliotidae dan kira-kira 4 - 7 subgenus. Taksonominya agak membingungkan. Spesiesnya berjumlah antara kira-kira 100 hingga 130 (karena adanya hibrida).
Abalon memiliki ciri-ciri permukaan kulit sebelah dalam yang berwarna-warni yang terbuat dari nakre. Daging moluska ini dianggap sebagai salah satu makanan istimewa di sebagian Amerika Latin (khususnya Chili), Asia Tenggara, dan Asia Timur (khususnya di Republik Rakyat Cina, Jepang, dan Korea).

Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Upakelas:
Superordo:
Ordo:
Superfamili:
Famili:
Haliotidae
Rafinesque, 1815
Genus:
Haliotis
Linnaeus, 1758
 Kerang Abalone biasa ditemukan pada daerah yang berkarang yang sekaligus dipergunakan sebagai tempat menempel. Kerang abalone bergerak dan berpindah tempat dengan menggunakan satu organ yaitu kaki. Gerakan kaki yang sangat lambat sangat memudahkan predator untuk memangsanya. Pada siang hari atau suasana terang, kerang abalone lebih cenderung bersembunyi di karang-karang dan pada suasana malam atau gelap lebih aktif melakukan gerakan berpindah tempat. Ditinjau dari segi perairan, kehidupan kerang abalone sangat dipengaruhi oleh kualitas air. Secara umum, spesies kerang abalone mempunyai toleransi terhadap suhu air yang berbeda-beda, contoh; H. kamtschatkana dapat hidup dalam air yang lebih dingin sedangkan H. asinina dapat hidup dalam air bersuhu tinggi (300C).
Penyebaran kerang abalone sangat terbatas. Tidak semua pantai yang berkarang terdapat kerang abalone. Secara umum, kerang abalone tidak ditemukan di daerah estuaria yaitu pertemuan air laut dan tawar yang biasa terjadi di muara sungai. Ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya air tawar sehingga fluktuasi salinitas yang sering terjadi, tingkat kekeruhan air yang lebih tinggi dan kemungkinan juga karena konsentrasi oksigen yang rendah. Kerang abalone merpakan hewan herbivore, yaitu hewan pemakan tumbuh-tumbuhan dan aktif makan pada suasana gelap. Jenis makanannya adalah seaweed yang biasa disebut makro alga. Jenis seaweed/makro alga yang tumbuh dilaut sangat beraneka ragam. Secara garis besar ada 3 golongan seaweed/makro alga yang hidup di laut, yaitu; 1) makro alga merah (Red seaweeds), 2) alga coklat (Brown seaweeds), dan 3) alga hijau (Green seaweed). Ketiga golongan tersebut terbagi atas beberapa jenis dan beraneka ragam. Keragaman tersebut tidak semuanya dapat dimanfaatkan kerang abalone sebagai makanannya.
Spesies:
Haliotis australis, Haliotis ancile, Haliotis aquatilis, Haliotis asinina, Haliotis barbouri, Haliotis brazieri, Haliotis clathrata, Haliotis coccoradiata, Haliotis sorenseni, Haliotis conicopora, Haliotis corrugata, Haliotis cracherodii, Haliotis crebrisculpta, Haliotis crebrisculpta, Haliotis cyclobates, Haliotis dalli, Haliotis discus, Haliotis dissona, Haliotis diversicolor supertexta, Haliotis diversicolor, Haliotis dohrniana, Haliotis elegans, Haliotis emmae, Haliotis ethologus, Haliotis exigua, Haliotis fatui, Haliotis fulgens, Haliotis gigantea, Haliotis glabra, Haliotis hargravesi, Haliotis howensis, Haliotis iris, Haliotis jacnensis, Haliotis kamschatkana, Haliotis kamtschatkana assimilis, Haliotis kamtschatkana kamtschatkana, Haliotis laevigata, Haliotis madaka, Haliotis mariae, Haliotis melculus, Haliotis midae, Haliotis multiperforata, Haliotis ovina, Haliotis corrugata.


Ophiuroidea
Bintang ular adalah hewan dari filum Echinodermata, yang memiliki hubungan dekat dengan bintang laut. Mereka berjalan di dasar laut dengan menggunakan lengan fleksibel mereka untuk bergerak. Bintang ular umumnya memiliki lima lengan berbentuk seperti cambuk yang panjangnya bisa mencapai 60 cm (2 kaki) pada spesimen terbesar. Ada sekitar 1.500 spesies bintang ular yang hidup sekarang, dan mereka kebanyakan ditemukan pada kedalaman lebih dari 500 meter (1.620 kaki).
Bintang ular dapat ditemukan pada perairan besar, dari kutub sampai tropis. Berdasarkan fakta, lili laut, teripang, dan bintang ular merajai dasar laut pada kedalaman lebih dari 500 meter, di seluruh dunia. Basket star biasanya terdapat di wilayah yang lebih dalam.

Seperti echinodermata lainnya, Ophiuroidea memiliki rangka dari kalsium karbonat. Bentuk tubuh bintang ular mirip dengan Asteroidea. Kelima lengan ophiuroidea menempel pada cakram pusat yang disebut calyx.Ophiuroidea memiliki lima rahang. Di belakang rahang ada kerongkongan pendek dan perut besar, serta buntu yang menempati setengah cakram. Ophiuroidea tidak memiliki usus maupun anus. Pencernaan terjadi di perut. Pertukaran udara dan ekskresi terjadi pada kantong yang disebut bursae. Umumnya ada 10 bursae.Kelamin terpisah pada kebanyakan spesies. Ophiuroidea memiliki gonad. Gamet disebar oleh bursal sacs. Sistem saraf terdiri atas cincin saraf utama yang bekerja di sekitar cakram utama. Ophiuroidea tidak memiliki mata, atau sejenisnya. Tetapi, mereka memiliki kemampuan untuk merasakan cahaya melalui reseptor pada epidermis. Baik Ophiurida maupun Euryalida memiliki lima lengan yang panjang, langsing, fleksibel, dan berbentuk seperti cambuk. Mereka dibantu dengan rangka internal yang terbuat dari kalsium karbonat.Pembuluh dari sistem vaskular air berakhir di kaki tabung. Sistem vaskular air umumnya memiliki satu madreporit. Kaki tabung tidak memiliki penghisap dan ampulla.Ophiuroidea memiliki kemampuan untuk meregenerasi kaki yang putus. Ophiuroidea menggunakan kemampuan ini untuk melarikan diri dari predator, seperti kadal, yang mampu memutuskan ekor mereka untuk membingungkan pengganggu.
Bintang ular menggunakan lengan mereka untuk bergerak. Mereka, tidak seperti bintang laut, bergantung pada kaki tabung. Bintang laut bergerak dengan menggerakan lengan mereka yang sangat fleksibel dan membuat mereka bergerak seperti ular. Pergerakan mereka mirip dengan hewan simetri bilateral.
Pernapasan dilakukan oleh 5 pasang kantong kecil yang bercelah di sekitar mulut, alat ini berhubungan dengan saluran alat reproduksi (gonad).
Alat-alat pencernaan makanan terdapat dalam bola cakram, dimulai dari mulut yang terletak di pusat tubuh kemudian lambung yang berbentuk kantong. Hewan ini tidak memiliki anus. Di sekeliling mulut terdapat rahang yang berupa 5 kelompok lempeng kapur.Makanan dipegang dengan satu atau lebih lengannya, kemudian dihentakkan dan dengan bantuan tentakel dimasukkan ke mulut. Sesudah dicerna, bahan-bahan yang tidak tercerna dibuang ke luar melalui mulutnya.
Jenis kelamin hewan ini terpisah. Hewan ini melepaskan sel kelamin ke air dan hasil pembuahannya akan tumbuh menjadi larva mikroskopis yang lengannya bersillia, disebut pluteus. Pleteus kemudian mengalami metamorfosis menjadi bentuk seperti bintang laut dan akhirnya menjadi bintang ular.

History of Ichthyology

KARTA JAYA | 3/16/2012 | 0 komentar |
INTRODUCTION
The Holy Bible is the first book that declared Adam as the first person to name species. However since this web site is dealing with recorded scientific information we must forego the theological path and instead focus on Man's ichthyologic method record. The sciences essentially began in Europe and later works in the New World were to advance European sciences. For practical purposes, science is still relatively young in the Americas. Many overlooked works can be found in manuscripts by Christopher Columbus who wrote about the fauna he saw in the New World or the Egyptians who catalogued their fishes on pyramid walls. Even Leif Ericsson's explorations which predated Columbus had mention of fishes that later scientist's would "discover." But even with this knowledge of history, we mustn't overlook the aborigines who themselves named species. Some of which bear the native name in the species binomen.
The beginning of taxonomy can be probably traced to John Ray (1628-1705). Ray introduced the complex grouping system and greatly improved the language description. Ray used the genus and species method of naming organisms. Prior to that the Greeks and Romans, notably Aristotle (384-322 B.C.) is credited with starting taxonomy having an accurate knowledge of fish anatomy and able to correctly distinguish aquatic mammals or cetaceans. But it was the work of the next author that drew the most praise and credit.
Karl Linnaeus (1707-1778) brought sharp focus to the method used today. Linnaeus (see picture at left) is considered by all as the "father" of taxonomy. It was his work that was massive in its undertaking, surpassing all before him including Ray. Linnaeus created a system of keys for naming species that were simple to use. This enabled many to use the method to identify organism's themselves. Linnaeus first classification of nature (minerals, plants and animals) appeared in 1735 and was immediately accepted by his peers. He grew in stature and reputation throughout the world. Later, he would establish a school (University of Upsala) in Sweden, which became the center of taxonomony which students from all over the world came. He called his work Systema Naturae. This work was in its 13th edition when Linnaeus died in 1778, this work however was carried over through more editions by his students for the next 50 years. Modifications took place over time following the method first established by Ray. By the 10th edition the list of names and species became shorter and shorter to its abbreviated form. Linnaeus suggested that it was sufficient it if merely identified the species among those of the genus. This simple answer established the binominal system of nomenclature.
Linnaeus further gave names to groups larger than the genus, establishing the class (similar to what Aristotle had established). The first was called CLASSES and each was divided into ORDERS, which then were broken down further to genera and species. By 1800 other workers introduced FAMILY as a category between ORDER and the genus. Finally, the classes were grouped into higher categories called PHYLA.
The 10th edition of Systema Naturae is the first publication to adhere strictly to binominal nomenclature, one of the International Rules states that no name published prior to this is valid. Hence, the 4,236 descriptions in this book include the earliest species are considered and accepted as official. The International Rules of Zoological Nomenclature require that whenever a new species is discovered and described the name of the designated species must be called a Holotype on which the species is based. Other species used in describing the new species become paratypes, and the data collected from them is included in the description. It is customary for ichthyologists to give the designated type to (country of origin) museums for permanent preservation. This then can be reviewed and used for research by professional ichthyologists and students who are qualified.
But problems would begin to surface that would lead to more changes and a new burst of interest in this work. The 19th century saw rise of a period called "romanticism" and a philosopher by the name of Johann Wolfgang von Goethe paved the way in city-state of Weimar in Germany. He was a poet and a biologist among other things. His belief in harmony and the inherent goodness of nature started a new trend which was called "nature-philosophy" as a method understanding life. This however did not last long as the generation began to mature more. Georges Cuvier was a biologist in France (survived not only the French Revolution but Napoleon too) and extended single-handedly a new method of classification called comparative anatomy. By reconstructing bones of extinct animals (fossils) he began the laborious task of naming them. This resurgence however did not last long even though Cuvier work uncovered many things that were once considered distinct. The concept of evolution was not accepted nor popular at the time and Cuvier et al., were vehemently opposed to it. The thought of those days was that all creatures were created just as they were. The original method of Linnaeus had not been realized yet and taxonomy declined after 1832.
Charles Darwin entered the arena in 1858 and by that time taxonomy was facing its worst crises, lack of interest by scientists. When Darwin presented his ideas and arguments about evolution eyes perked up and now a newer method was being devised. In Cuvier's time evolution would have been unthinkable and unscientific. Even by today's standards Darwinism as it was known then postulated that man descended from a common ancestor, the ape. This was met with much controversy even court action to prevent schools to teach was is now called "Evolution." Darwin was able to postulate the "why" of a species where before it could never be asked. This allowed a species to be better defined as an evolutionary unit, as well as a taxonomic category.
Ichthyology
Ichthyology which is the focus of this OPEFE website was confronted with many inadequate descriptions and figures of fishes printed during the over 200 years since records were first kept. The first original observations may be attributed to Pierre Belon (1517-1575) in De aquatilibus libri duo; Hyppolyto Salviana (1514-1572) in Aquatilium animalium histoae...; and Gulielmus Rondelet (1507-1566) in libri de piscibus marinis, whose works are almost entirely limited to Mediterrean and European fishes.The next century, Guilielmus Piso (1611-1678) and George Marcgrav (1610-1644) accompanied Prince Moritz of Nassau (1604-1679) to Brazil in 1637-1644 approximately 100 species of fish. It was about this time John Ray (see above) and Francis Willoughby (1635-1672) and ichthyology flourished.
A Swede by the name of Peter Artedi (1705-1735) surfaced from the University of Uppsala, Sweden. His earliest investigation were more important than others before him. There are those who consider him the father of ichthyology. In 1728 Karl (Latinized as Carolus) Linnaeus visited this university. Linneaus inquired as to who was engaged in the study of natural history and he was then referred to Artedi. That is how they met and became friends. Each helping the other not only in personal money needs but even making an agreement that the survivor would publish the works of the one deceased. Artedi drowned in 1735 in Holland. Linnaeus true to his word published Artedi Ichthyologia in 1738. Artedi method was that he believed that a genus represented a group of species which agreed with each other in general but which differed in minor characters. Having established the generic concept, Artedi proceeded to group the genera into "maniples." This is the same family concept used today. The maniples were arranged into natural orders, and these into a class, representing the whole group of fishes. In all Artedi recognized 47 genera and 230 species. The only weakness in this rating was below the genus. He retained the polynomial scheme of nomenclature. There is no doubt Artedi greatly influenced Linnaeus.
Many more ichthyologic works would follow Artedi and Linnaeus. Some of those names include, Otto Fabricus (1744-1822), Petrus Forskål (1736-1763), Petrus Pallas (1741-1811), Antione Risso (1777-1845), Thomas Pennant (1726-1798), Wlhelm G. Tilesius (1769-1857), Georg Wilhelm Steller (1709-1746). Constantine Samuel Rafinesque (1783-1840), had the dubious distinction of having described and published non-existent animals. This as a result of a friend suggesting the famed bird painter Audobon meet Rafinesque since both shared a passion for natural history. This was during the summer and Rafinesque having impressed Audobon with his knowledge of natural history was invited to spend the night in Audobon's cabin. During the night, Audobon awoke to a commotion in the naturalist room. To his astonishment he saw his guest, running naked, holding the handle of Audobon's favorite Cremona (a violin), the body of which was battered to pieces in attempting to kill bats for examination. Audobon as earlier stated was a noted artist and famous for painting birds. He used this skill to create non-existent animals by placing the head of one and then painting onto the body of another. Perhaps revenge in his heart Audobon gave these paintings to Rafinesque and the naturalist immediately set out in describing these new species. Ten of these were actually published in Ichthyologia Ohiensis.
Marc Elieser Bloch (1723-1799), Bernhard G.E. Lacepède (1756-1825), Georges L. C. F.D. Cuvier (1769-1832) and Achille Valenciennes (1794-1865). The first ichthyologist to publish an actual description can be traced to an American named LeSueur (1821). The species described was Mollinesia latipinna, commonly called the sail-fin Mollie. In those days there was a lot of carelessness in describing and naming new species. Many of the plates used as illustrations contained many errors in spelling, etc. Because the egregious mistake in spelling of Mollinesia was in dispute (the plate illustration had the name misspelled as Molinesia) it took three ichthyologist in the future to investigate and correct the nomenclature error.
The last attempt to write a series of volumes on the fishes of the world was by Albert C.L.G. Günther (1830-1914). This work was entitled Catalogue of the Fishes of the British Museum. It was published in eight volumes from 1859-1870. To many species were being discovered and the task became more complicated. More work than one person could accomplish. The local fauna was by and large greater than what was once thought and could not be worked into the treatise on fishes of the world. The next serious attempt was made by Johann Baptis von Spix (1781-1826) and Louis Aggassiz (1807-1873). This work pertained to Brazilian local fauna and related fishes. Johann Müller (1801-1858) and Friedrich G. J. Henle (1807-1885) produced the first authoritative work on sharks (Systematische Beschriebungen der Plagiostomen) in 1841. Peter Bleeker (1819-1878) published 500 separate contributions, chiefly on the fishes of the tropical Indo-Pacific. His book which was not only fully illustrated, it was one of the best 9 volumes from previous works of other authors. The book name is Atlas Ichthyologique des Indes Orientales Néerlandaises, 1862-1877. The literature from that work is the most accurate and comparable to many literature found today.
Cuba also had a notable ichthyologist by the name of Felipe Poey y Aloy (1799-1891). He labored for over a 50 years on the local fish and fauna. Japan also produced other ichthyologic works by Coenraad Jacob Temminck (1770-1858) and Herman Schlegel (1804-1844). Their work catalogued the fauna and fishes of the Japanese island. There were other ichthyologists from other lands (way to many to list here), but some other notable ones include; Franz Steindachner (1834-1919), George Boulenger (1858-1937), Robert Collett (1842-1913), Carlos Berg (1843-1902), Francis Day (1829-1889), and Leon Louis Vaillant (1834-1915).
American Ichthyology is dated from the feeble beginnings of Rafinesque and from Samuel Latham Mitchill (1764-1831). His work pertained to the treatise on the fishes of New York. Shortly after that Charles Alexander LeSueur (1778-1846) reported on the Great Lakes and Ohio basin. He was an artist and naturalist. Other American ichthyologist surfaced during that period; Jared Potter Kirtland (1793-1877) on Ohio fishes; James Ellsworth DeKay (1792-1851) on the New York fauna; John Richardson (1787-1865), published Fauna boreali-Americana in 1836. Massachusetts also produced an ichthyologist named David Humphreys Storer (1804-1891) who focused his work on the fishes from that state. South Carolina fishes were examined and written about by John Edwards Holbrook (1796-1871).
In 1846, The Smithsonian Institution was created in the city of Washington, D. C. This institution was under the direction of the United States government. This gave a permanent residence to the United States National Museum where specimens could stored and later reviewed by people interested in North American fauna and the fauna found in the world. The U.S. National Museum, Division of Fishes is so large that very little space is available for its multitude of specimen jars exceeding 300,000. This collection belongs to the people of the United States and is available only those students qualified in ichthyologic studies. This collection is very similar to a book library where the student can research past observations and record new ones. The institution is assisted by the U.S. Fish and Wildlife Commission who has a history of systematic ichthyologic leadership in investigations over a century old. Noteworthy contributions can be traced to G. Brown Goode (1851-1896) and his Oceanic Ichthyology; David Starr Jordan (1851-1931) in collaboration with Charles Henry Gilbert (1859-1928) and Barton Warren Evermann (1853-1932) were responsible for publishing over 100 citations on American fishes. Henry W. Fowler (1878-?), Academy of National Sciences in Philadelphia, did many citations on Philippine collections using his on ship called Albatross. Furthermore, Fowler in 1945 and Bailey & Miller in 1950 examined the work by LeSeur amended the name to Mollienesia which closely followed the name of the man it was supposed to honor, LeSueur. This was the first time an examination of ichthyologic review was ever done in order to correct an egregious error in a citation. A volume of fishes in Peru was provided by Samuel Frederick Hildebrand (1883-1949) and that on freshwater fishes of Thailand (then Siam) by Hugh McCormick Smith (1865-1941).
Louis Agassiz (1807-1873) in 1850 wrote a monograph on the fishes of Lake Superior and trained one of his students, Charles Frederic Girard (1822-1895), in ichthyology. Many fish collections and preservations were completed during the United States Pacific Railway surveys which were brought back to Washington. Here Spencer Fullerton Baird (1823-1887) published the survey fauna (mostly from the Western United States) with the assistance of Girard. Baird was one of the secretaries to the Smithsonian Institution during this time. Also engaged in these earlier explorations were James Wood Milner (1841-1879), Marshall McDonald (1835-1895), William O. Ayers (1817-1891), William Neale Lockington (184?-1902), and George Suckley (1830-1869) among others.
Certain American educational institutions (latter half of nineteenth century and early twentieth century) later arose into centers of leadership in the study of fishes and exploration. Harvard University had Samuel Garman (1843-1927). Garmon was a student of Agassiz and he made valuable contributions on the sharks and the deep-sea fishes collected by Albatross. Indiana University became another important research center for fishes under the leadership of David Starr Jordan during the 1880's. He would be then followed by the man whom many would call "the father of characid studies," Carl Eigenmann.
Carl H. Eigenmann (1863-1927) took over and became famous for his valuable contributions on South American fishes. Jordan had trained Eigenmann and inspired his very active ichthyologic career. Eigenmann collaborated in many of Jordan's works and Jordan would later appoint Eigenmann as professor of zoology at Indiana University. Upon Eigenmann's death his successor (Fernandus Payne) praised Eigenmann's researches by stating in his opinion "place him (Eigenmann) in the first rank of ichthyologists of all time." Jordan praised Eigenmann by saying "one of the most eminent workers in the field of systematic zoology and one of the ablest of natural history teachers, withal the most tireless of explorers." Jordan in the meantime left Indiana and took over as first president of Stanford University, California. His leadership in establishing a fish center there is still strong today. When he left Indiana he took with him Charles Henry Gilbert (1859-1928). At Stanford he gathered two important men, John Otterbein Snyder (1867-1943) and Edwin Chapin Starks (1867-1932). For half a century Standford University was the main center for training students in ichthyology. Charles Henry Gilbert was known for his methodical handling of American fishes. His work was primarily on salmon and to apply statistical methods to fishery research. This earned him the title of "the father of modern fisheries biological research in America."
Seth John Meeks (1859-1914) was another of Jordan's students and like Eigenmann revised many early group and regional papers. He largely focused his attention on freshwater fishes of Middle America. Many more followed Jordan's lead and most were his students. George Brown Goode (1851-1896) played an important role in pure and applied ichthyology in the United States. His ichthyology overlapped Jordan, but the two did not publish together. However, they did cooperate effectively. Much of his work was focused on fisheries biology, particularly that of certain commercially important fishes. His research of deep-sea fishes was firmly established since Jordan had no interest in them. Tarleton H. Bean (1846-1916) was an associate of Goode and helped lay out the rational inclusion of deep-sea fishes in the Fishes of North and Middle America. Later Bean's brother Barton A. Bean (1860-1947) followed him as Curator of Fishes in the National Museum. However his reign seemed to be (quoting from Carl L. Hubbs) "less productive and less illustratrious scientific life (during slightly more than the last decade of the nineteenth century and the first two decades of the twentieth)."
Louis Agassiz while in San Francisco picked up another fellow by the name of Samuel Garman (1843-1927) from what was then called "the Wild West." Agassiz trained Garman in ichthyology (both Garman and Jordan were fellow students under Agassiz at Penikese). In addition to publishing a considerable number of minor papers, Garman monographed the "Discoboli" (Cyclopteidae and Liparididae) in 1892, and the Cyprinodontes in 1895. Garmon's work methodical in his attention to the anatomical detail. However, he was never admired nor a member of the Jordan clique. Garmon was indeed a recluse, locking himself into his ill-lit quarters at MCZ. The period 1875-1900 knowledge of fish fauna of the Pacific Coast of the United States flourished. Several incidental studies were conducted by Louis and Alexander Agassiz, Gill, William O. Ayres, James Grahm Cooper (1830-1902), William Gibbons (1812-1897), and a few other lessor known figures. Much of the work reached a standstill during the Pacific Railroad Survey of the 1850's. That is until Jordan and Gilbert carried out their survey in 1880. The collected from British Columbia to San Diego, chiefly fish markets, which then, especially in California, contained a wide variety of inshore fishes.
This were quickly returned to their hotel room where they prepared the fishes for shipment in preservative. Many quick descriptions were done this way with prompt publication following their discovery. These were published in short papers in the Proceedings of the United States National Museum for 1880 and 1881. Never mind, that expediency for correct descriptions was the norm and this would later create problems for ichthyologists to follow. In one situation on a trip to Matzatlán and on two trips to Panamá, in 1881 and 1882, Gilbert made large fish collections that were destroyed by fire. This before a monograph on The Fishes of the Pacific Coast of Tropical America could be written!
by Frank Magallanes, OPEFE

Tingkah Laku Ikan terhadap Rumpon

KARTA JAYA | 3/16/2012 | 0 komentar |
Rumpon (fish agregation device) dalam bahasa kelautan adalah karang buatan yang dibuat oleh manusia dengan tujuan sebagai tempat tinggal ikan. Rumpon merupakan rumah buatan bagi ikan di dasar laut yang dibuat secara sengaja dengan menaruh berbagai jenis barang di dasar laut secara kontinyu (Soemarto 1962). Biasanya, bila di suatu perairan terdapat rumpon, maka plankton akan berkumpul. Seperti diketahui plankton sebagai bahan makanan bagi ikan besar. Beberapa jenis ikan tuna dan cakalang menjadikan rumpon sebagai tempat bermain. Hal ini memudahkan bagi nelayan untuk menangkap ikan.
Definisi rumpon menurut SK Mentan  No. 51/Kpts/IK.250/1/97  adalah  alat  bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Selanjutnya dalam SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/1/97 tentang Pemasangan  dan  Pemanfaatan  rumpon menjelaskan bahwa terdapat 3 jenis rumpon, yaitu:
  1. Rumpon perairan dasar; adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut. 
  2. Rumpon perairan dangkal; adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan padaperairan laut dengan kedalaman sampai dengan 200 meter. 
  3. Rumpon perairan dalam; adalah alat bantu  penangkapan  ikan yang  dipasang dan  ditempatkan   pada perairan  laut   dengan  kedalaman  di atas 200 meter.
Konstruksi dan teknis pemasangan rumpon
Secara garis besar rumpon menurut Preston (1982) dalam Anonim2 adalah tersusun dari tiga bagian utama yang terdiri dan attraktor, mooring line dan pemberat. Konstruksi rumpon, terdiri dan komponen-komponen yang sama bila dilihat berdasarkan fungsinya seperti pelampung, alat pengumpul ikan, tali-temali dan pemberat. tetapi untuk rumpon-rumpon yang dipergunakan oleh nelayan diberbagai lokasi di Indonesia mempunyai perbedaan bila dilihat dan material masing-masing komponen konstruksi rumpon tersebut.
Tim Pengkajian Rumpon IPB (1987) mengemukakan bahwa persyaratan umu komponen komponen dan konstruksi rumpon adalah sebagai berikut:
1)   Pelampung,
§  Mempunyai kemampuan mengapung yang cukup baik (bagian yang mengapung di atas air 1/3 bagian).
§ Konstruksi cukup kuat tahan terhadap gelombang dan air.
§ Mudah dikenali dari jarak jauh.
§ Bahan pembuatnya mudah didapat;
2)   Atraktor atau pemikat,
§  Mempunyai daya pikat yang baik terhadap ikan.
§  Tahan lama.
§  Mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal dengan arah ke bawah.
§  Melindungi ikan-ikan kecil.
§  Terbuat dan bahan yang kuat, tahan lama dan murah;
3)   Tali-temali,
§  Terbuat dan bahan yang kuat dan tidak mudah busuk.
§  Harganya relatif murah  mempunyai daya apung yang cukup untuk mencegah  gesekan terhadap benda-benda lainnya dan terhadap arus
§  Tidak bersimpul (less knot);
4)   Pemberat,
§  Bahannya murah, kuat dan mudah diperoleh.
§  Massa jenisnya besar, permukaannva tidak licin dan dapat mencengkeram.
Daya tahan rumpon yang dipasang di laut sangat bervariasi tergantung jenis material dari masing-masing komponen serta kondisi dan kedalaman perairan dimana rumpon tersebut dipasang. Tim Pengkajian Rumpon IPB (1987) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil evaluasi rumpon yang dipasang PT. Usaha Mina di Perairan Utara Irian Jaya dan  di perairan Maluku utara dapat disimpulkan bahwa rumpon yang dipasang pada kedaan 600-1000 m dapat bertahan antara 10-17 bulan
Menurut Atapattu (1991). penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan laju tangkap dengan pengurangan biaya produksi, mengurangi waktu untuk mencari gerombolan ikan sehingga mengurangi biaya operasi kapal, meningkatkan efisiensi penangkapan serta memudahkan operasi penangkapan ikan yang berkumpul di sekitar rumpon.
Rumpon sebagai alat bantu penangkapan dipasang di tengah laut. Oleh sebab itu agar rumpon dapat berfungsi dengan dengan baik sesuai dengan tujuannya. maka dalam pemasangannya diperlukan adanya informasi tentang kedalaman, kecerahan air. arus. suhu, salinitas dan keadaan topografi dan dasar perairan dimana rumpon akan dipasang. Informasi dasar tersebut sangat diperlukan untuk diketahui agar dalam pemasangan rumpon benar-benar tepat pada perairan yang diharapkan dan menghindari rumpon putus. Pemasangan rumpon harus pula memperhatikan aspek biologis dan ikan yang menjadi sasaran penangkapan. Hal ini bertujuan agar rumpon yang dipasang benar-benar pada perairan yang subur dan banyak ikannya.

Tingkah laku ikan di sekitar rumpon
Menurut Asikin (1985) mengemukakan bahwa keberadaan ikan di sekitar rumpon disebabakan oleh bebrapa hal, antara lain:
  1. Rumpon sebagai tempat bersembunyi di bawah bayang-bayang daun rumpon bagi beberapa jenis ikan tertentu;
  2.  Rumpon sebagai tempat berpijah bagi beberapa jenis ikan tertentu; 
  3. Rumpon itu sebagai tempat berlindung bagi beberapa jenis ikan yang mempunyai sifat fototaksis negatif.
Samples dan Sproul (1985) mengemukakan teori tertariknya ikan yang berada di sekitar rumpon disebabkan karena:
  1. Rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan tertentu; 
  2. Rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan tertentu;
  3. Rumpon sebagai substrat untuk meletakkan telurnya bagi ikan-ikan tertentu; 
  4. Rumpon sebagai tempat berlindung (shelter) dan predator bagi ikan-ikan tertentu;
  5.  Rumpon sebagai tempat sebagai  titik acuan navigasi  (meeting point)  bagi     ikan-ikan tertentu yang beruaya. 
Selain kelima teori di atas Gooding dan Magnuson (1967) dalam Anonim2 megemukakan bahwa rumpon merupakan tempat stasiun pembersih (cleaning place) bagi ikan ikan tertentu. Dikemukakan bahwa dolphin dewasa umumnya akan mendekati bagian bawah floating objects dan menggesekkan badannya.  Breder (1949) dalam Anonim2  juga mendukung hal ini dimana kadang-kadang dolphin mendekati ikan lain untuk membersihkan badannya.  Tingkah laku ini sesuai dengan tingkah laku dan famili coryphaenids yang memindahkan parasit atau menghilangkan iritasi kulit dengan cara menggesekkannya.  Freon dan Dagom (2000) dalam Anonim2  menambahkan teori tentang rumpon sebagai tempat berasosiasi (association place) bagi jenis ikan-ikan tertentu.
Rumpon yang dipasang. pada suatu perairan akan dimanfaatkan oleh kelompok ikan tertentu sebagai tempat berlindung dan serangan predator. Kelompok jenis ini akan berenang-renang dengan mengusahakan agar posisi tubuh selalu membelakangi bangunan rumpon. Selain sebagai tempat berlindung, rumpon diibaratkan sebagai pohon yang tumbuh di padang pasir yang merupakan wadah pemikat kelompok ikan (Subani 1972).
Ikan berkumpul di sekitar rumpon untuk mencari makan. Menurut Soemarto (1962) dalam area rumpon terdapat plankton yang merupakan makanan ikan yang lebih banyak dibandingkan di luar rumpon.  Diterangkan juga oleh Soemarto (1962) bahwa perairan yang banyak planktonnya akan menarik ikan untuk mendekat dan memakannya.
Menurut Subani (1972) mengemukakan bahwa ikan-ikan yang berkumpul disekitar rumpon menggunakan rumpon sebagai tempat berlindung juga untuk mencari makan dalam arti luas tetapi tidak memakan daun-daun rumpon tersebut.
 
Didukung oleh : Karta Jaya Web | TIPS untuk Blogger | TIPS dan TRIK BLOG
Copyright © 2010. LautanBiru.com
Note : Semua artikel yang ada dalam blog ini, semata-mata hanya untuk
dibagikan buat sobat blogger yang membutuhkan
Template blog telah dimodifikasi dengan perubahan tampilan yang ada.
TERIMA KASIH atas kunjungan Anda.
Jika ada saran/kritik, silahkan kirim e-mail ke:
Kartajaya25@gmail.com atau karta.tambunan@ymail.com